Pemerintah Tidak Sanggup Atasi Perambahan Hutan Ilegal
Masih ingatkah anda dengan lantunan lagu dari Iwan Fals :
Raung bouldozer, gemuruh pohon tumbang
Tawa kelakar badut-badut serakah
Tanpa HPH berbuat semaunya
Lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan hutan mengapa tidak dari dulu saja
Oooo mengapa
Jelas kami kecewa .............
..........................
.............................
Bencana erosi selalu datang menghantui
Tanah kering kerontang banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat perpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat ulah manusia
Foto: VOA - A. Dewan
Penggalan lagu di atas rasanya cukup untuk menggambarkan keadaan hutan Indonesia dan efeknya terhadap kehidupan kita saat ini. Meskipun beberapa peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah tapi di lapangan semua peraturan entah buat siapa.
Organisasi PBB bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) Rabu lalu telah memasukkan hutan tropis Sumatera dalam daftar “situs yang terancam” akibat perambahan di bidang pertanian, pembangunan jalan, serta perburuan dan pembalakan liar. Padahal, hutan tropis Sumatera seluas 2,5 juta hektar tersebut telah masuk dalam “Daftar Warisan Dunia” UNESCO pada tahun 2004, karena keanekaragaman hayatinya.
Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, mengakui pemerintah kewalahan mengatasi perambahan hutan ilegal, yang menyebabkan rusaknya kawasan hutan Indonesia, meskipun Inpres Moratorium hutan telah dikeluarkan. Menurutnya, perambahan hutan semakin marak akibat kenaikan harga pangan dunia dan pemekaran wilayah.
Zulkifli Hasan menyampaikan hal ini kepada pers sesaat sebelum sidang kabinet di Kantor Presiden, hari Jumat.
“Problem kita itu ‘kan kita sudah tidak memberikan konsesi baru di hutan alam primer sejak 2 tahun, (tidak mengizinkan) perluasan HPH dan lahan gambut. Tapi saya akui pertambahan penduduk, pemekaran wilayah juga akibat kenaikan harga-harga komoditi seperti kopi, karet, sawit, cokelat, ini semua komoditi yang merangsang penduduk merambah lahan menjadi perkebunan. Ini terjadi di Merangin, Riau, dan Kalimantan,” papar Hasan.
Mengenai daftar yang dikeluarkan UNESCO, Zulkifli mengatakan sulit mengendalikan kerusakan masif di hutan Sumatera, terutama pembukaan lahan dengan cara dibakar. Ia menjelaskan sudah melakukan sosialisasi kepada Bupati setempat, termasuk penegakan hukum. Tapi, lagi-lagi ia menyebutkan komoditi pangan yang harganya sedang meroket di pasaran dunia, sebagai penyebab perambahan hutan oleh penduduk.
Menurut Hasan, “Kalau UNESCO mengatakan ada kerusakan itu masuk akal. Taman Nasional Kerinci termasuk yang sudah mendapatkan Warisan Dunia. Ada sekitar 15 ribu penduduk di Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung, ya memang (mereka) bukan (melakukan) penebangan liar, tapi mereka mengalihfungsi hutan menjadi kebun kopi dan lada. Jadi mungkin karena itu (daftar UNESCO dikeluarkan), Saya sudah kesana, bicara dengan Bupati dan aparat kepolisian. Kita sudah melakukan sosialisasi dan menata sedemikian rupa supaya kerusakan itu tidak berlanjut.”
Dulu Kementerian Kehutanan menyediakan lahan pengusahaan (konversi) hutan hanya untuk pengusaha, sehingga masyarakat tidak kebagian.
“Kami sedang kembangkan hutan tanaman rakyat dan hutan desa setahunnya 700 ribu hektar, diberikan kepada setiap Kepala Keluarga untuk dikelola dan menanam tanam-tanaman keras yang bermanfaat. Program ini ada sedikit (dijalankan) di Sumatera tapi sebagian besar di Kalimantan,” ujar Hasan lagi.
Sementara itu, Koordinator Kampanye Hutan TELAPAK, Hapsoro, menilai peringatan UNESCO tidak akan berarti apa-apa tanpa niat pemerintah untuk melakukan perubahan mendasar. Kerusakan hutan di Sumatera kecil kemungkinan untuk bisa dipulihkan.
Hutan alam terluas saat ini yang relatif tidak terjamah berada di Papua, tapi itupun sudah dirusak oleh penebangan legal dan ilegal; juga dikonversi untuk lahan kelapa sawit, kebun Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk bubur kertas (pulp) dan pertambangan. Hal serupa terjadi pula di Kalimantan.
Hapsoro mengatakan, “Selama yang dilakukan pemerintah adalah penyederhanaan aturan-aturan dan tidak diikuti dengan upaya untuk memperbaiki aturan yang sudah ada, dan mengecek apakah aturan itu berjalan dengan baik dan mampu mengatasi korupsi sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan.”
Di samping itu, ungkap Hapsoro, pemerintah juga belum mampu menuntaskan konflik lahan dengan masyarakat adat. Menurutnya, celah ini kerap dimanfaatkan oleh pengusaha untuk mengambil keuntungan sepihak.
Agaknya semua ini menjadi perenungan bagi pemerintah dan jajarannya, juga kita semua yang mencintai hutan Indonesia. Segala lapisan masyarakat harus berjuang untuk melestarikan hutan Indonesia, sumber keseimbangan kehidupan kita.
Sumber : Wella Sherlita, VOANews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tambah sahabat dengan komentar, No Spam