Mahkamah Konstitusi (MK)
Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2), yang berbunyi sebagai berikut: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di samping itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan MPR, lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden (Pasal 7 A). Jadi berbeda dengan di Amerika Serikat yang mendahulukan proses politik daripada proses hukum.
Mengapa keduanya dinilai perlu dipisahkan? Menurut Jimly Asshiddiqie, karena pada hakikatnya, kedaulatan memang berbeda. Mahkamah Agung lebih merupakan pengadilan keadilan (court of justice), sedangkan Mahkamah Konstitusi lebih berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum (court of law). Memang tidak dapat dibedakan seratus persen dan mutlak sebagai ‘court of justice’ versus ‘court of law’. Semula, formula yang Jimly usulkan adalah seluruh kegiatan ‘judicial review’ diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga Mahkamah Agung dapat berkonsentrasi menangani perkara-perkara yang diharapkan dapat mewujudkan rasa adil bagi setiap warga negara. Akan tetapi, nyatanya UUD 1945 tetap memberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan di bawah undang-undang kepada Mahkamah Agung. Di pihak lain, Mahkamah Konstitusi juga diberi tugas dan kewajiban memutus dan membuktikan unsur kesalahan dan tanggung jawab pidana Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menurut pendapat DPR telah melakukan pelanggaran hukum menurut UUD. Dengan kata lain, Mahkamah Agung tetap diberi wewenang sebagai ‘court of law’ di samping fungsinya sebagai ‘court of justice’. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi tetap diberi tugas yang berkenaan dengan fungsinya sebagai ‘court of justice’ disamping fungsi utamanya sebagai ‘court of law’. Artinya, meskipun keduanya tidak dapat dibedakan seratus persen antara ‘court of law’ dan ‘court of justice’, pada hakikatnya penekananan fungsi hakiki keduanya memang berbeda satu sama lain. Mahkamah Agung lebih merupakan ‘court of justice’, daripada ‘court of law’ sedangkan, Mahkamah Konstitusi lebih merupaan court of law’ daripada ‘court of justice’. Keduanya sama-sama merupakan pelaku kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Pembagian tugas di bidang pengujian peraturan (judicial review) atas peraturan perundang-undangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menurut Jimly, sama sekali tidak ideal karena dapat menimbulkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Ke depan, memang harus dipikirkan kemungkinan mengintegrasikan seluruh sistem pengujian peraturan di bawah kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Adanya dua kelembagaan dalam menguji peraturan perundang-undangan tersebut dapat menimbulkan permasalahan tersendiri, karena dengan demikian akan menimbulkan tidak tegas dan integralnya visi serta konsepsi hukum yang akan dibangun dalam kerangka pembaharuan hukum di Indonesia. Hal itu disebabkan karena kedua lembaga dapat dipastikan memiliki tolok ukur yang berbeda tentang visi hukum. Selain itu, desain tersebut membuka ruang inkosistensi putusan yang dikeluarkan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Pada mulanya memang tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi. Bahkan, keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi itu sendiri di dunia memang dapat dikatakan relatif masih baru. Oleh karena itu, ketika UUD 1945 dirumuskan, gagasan Mahkamah Konstitusi ini belum muncul. Perdebatan yang muncul ketika merumuskan UUD 1945 adalah perlu tidaknya UUD 1945 mengakomodir gagasan hak uji materiil ke dalam kekuasaan kehakiman. Namun, dikalangan negara-negara demokrasi baru, terutama di lingkungan negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi pada perempatan terakhir abad ke-20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat popular. Oleh karena itu, setelah Indonesia memasuki era reformasi dan demokratisasi dewasa ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu menjadi sangat luas diterima.
Dalam praktiknya tidak ada keseragaman di negara-negara di dunia ini mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, melainkan disesuaikan dengan sejarah dan kebutuhan masing-masing negara. Ada konstitusi negara yang menyatukan fungsi Mahkamah Konstitusi ke dalam Mahkamah Agung, ada pula konstitusi negara yang memisahkannya sehingga dibentuk dua badan kekuasaan kehakiman yaitu MA dan MK.
Karangan : Dr. Ni’Matul Huda, SH., M.Hum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tambah sahabat dengan komentar, No Spam