Kamis, 22 Desember 2011

Seputar Ujian Nasional



SEPUTAR UJIAN NASIONAL (UN)



Mengapa Ujian Nasional (UN) selalu menyita pikiran kolektif kita setiap tahun? Bisa jadi karena kita sangat beragam dan kompleks memandang dan menyikapi UN tersebut.

Pakar pendidikan karismatik semacam Arief Rahman misalnya, selama ini cenderung "menentang" pelaksanaan UN karena menganggapnya tidak adil dan membebani anak. Tidak adil karena soal pilihan ganda yang disuguhkan di UN hanya mengukur ranah pengetahuan (kognisi) sementara keterampilan dan sikap anak tidak disentuh di sana, sedangkan pendidikan tidak terlepas dari tataran nilai.

Akan sangat berbeda dengan Syawal Gultom (mohon maaf jika gelar titel tidak saya tulis lengkap seperti kebanyakan dan kebanggaan kita di daerah ini menuliskannya). Rektor Unimed ini justru mengatakan bahwa UN wajib dilaksanakan supaya tidak melanggar undang-undang. Di Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) diatur bahwa penilaian dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan dan pemerintah. Sebagian "mashap" melihat bagian yang terakhir harus dilakukan secara masif dan itu mendasari pelaksanaan UN .

Namun orang lain bisa mencari celah. Di Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa "evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan". Persoalannya adalah, mana lebih kuat, undang-undang atau peraturan pemerintah? Inilah "perdebatan" yang rumit bagaikan menghadapi pertanyaan klasik hubungan kausalitas, mana yang duluan: ayam atau telor ayam?

Di pengujung tahun 2006 seorang teman saya dari SMAN 3 "Unggulan" Kayuagung, OKU, Sumsel mengabari saya bahwa ia berhasil membimbing siswanya menulis karya ilmiah di UI, juara I. Temanya mengenai perspektif siswa terhadap pelaksanaan UN. Saya segera meminta dikirimkan makalahnya via email. Setelah saya unduh dan baca, saya menyimpulkan, mereka beropini bahwa UN merupakan vonis tunggal yang tidak adil terhadap kelulusan siswa.

Ketidakadilan yang dilihat menyangkut mata pelajaran penentu. Mengapa hanya empat pelajaran (yang di-UN-kan saja) pematok kelulusan? Kontribusi mata pelajaran lain yang jumlahnya lebih banyak terkesan diabaikan. Kelulusan anak ditentukan tiga hari ujian sedangkan anak berproses (belajar) selama tiga tahun dengan gurunya tidak punya kans.

Menurut Syawal, pemikiran yang terakhir justru keliru. Guru justru punya kontribusi yang sangat kuat. Setiap kali UN dilaksanakan, tidak pernah lupa mensyaratkan bahwa anak harus lulus ujian sekolah, mengikuti semua program pembelajaran. Lebih intens, perihal peran serta sekolah itulah yang kemudian membuat UN 2011 akan berbeda dengan UN sebelumnya.

Itu benar. Bahkan selalu pula dinyatakan bahwa nilai akhir kelompok pelajaran Agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, estetika, jasmani, olah raga dan kesehatan minimal harus bernilai baik. Semua ketentuan ini sepenuhnya diserahkan pada sekolah. Sayangnya, tidak ada sekolah yang berani membuat ketentuan itu sebagai syarat kelulusan. Pernah terjadi di Sulawesi, ada sekolah yang berani tidak meluluskan siswanya padahal anak itu berhasil di UN. Itu sedikit anomali karena hanya terjadi satu di antara ribuan sekolah lain.

Yang umum terjadi, semua elemen, mulai dari pejabat daerah, pemilik yayasan, kepala sekolah, guru, orang tua, peserta didik, dalam keadaan panik dan phobia terhadap UN itu. Makanya, UN-lah yang dianggap sebagai sebuah vonis kelulusan.

Di antara sekian banyak praktisi pendidikan, Doni Koesoema A tampaknya yang lebih kerap mengkritik. Bahkan hingga mengkritik independensi lembaga pembuat dan penyelenggara UN. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerja sama Kemendiknas dalam membuat, menyelenggarakan, berikut melaporkan UN kepada pemerintah dilihatnya justru membuat BSNP kehilangan kredibilitas.

UN baru dianggap akuntabel jika pelaksanaan UN mampu memberi data yang benar-benar valid, reliable, dan fair untuk menilai kompetensi peserta. Datanya bisa diakses oleh siapa saja dan kapan pun. Tes dalam UN adalah sumatif. Bertujuan menilai prestasi peserta guna menentukan seseorang memiliki kompetensi yang disyaratkan setelah melewati proses pendidikan dalam kurun waktu tertentu.

SEMANGAT INSTAN

Pendidikan selaras dengan proses waktu. Waktu menjadi sangat penting. Bukan sesuatu yang dadakan sehingga banyak pihak kalangkabut. Sekolah "terpaksa" melakukan les tambahan ini itu. Membuat latihan soal-soal tryout dengan pihak lain yang kegiatannya "berbau" bisnis. Buku kumpulan soal diterbitkan untuk dijual, dan seterusnya. Sekolah seakan terjebak jalan pintas. Sekolah lebih mengutamakan target kelulusan. Pendidikan menjadi sangat pragmatis. Peserta didik hanya tahu belajar intensif tatkala memasuki fase-fase akhir menjelang UN. Praktik keseharian selama tiga tahun, peserta didik dan pendidik, seakan jauh dari usaha belajar-mengajar dengan tekun.
Sekali lagi, semangatnya menjadi instan. Kondisi itu akan berkelindan hingga di perguruan tinggi nanti. Maka kemudian, jumlah lulusan terus melambung, berbanding lurus dengan jumlah yang menganggur. Lapangan kerja tak terisi karena mutu lulusan dianggap tidak cakap. Mereka banyak yang terbiasa belajar mati-matian hanya ketika hendak menghadapi ujian akhir.

ANEKA KEBIJAKAN

Tidakkah Kementerian Pendidikan Nasional mendengar berbagai kritik tadi? Tidak mungkin. Apalagi Komisi IX yang membidangi pendidikan di DPR juga bahkan pernah ikut menyuarakan agar UN ditiadakan saja karena mungkin dianggap punya persoalan.

UN tidak berhenti. UN akan dimulai 18-21 April 2011 (SMA), 25-28 April 2011 (SMP). Tahun lalu (UN 2010) ada kebijakan membuat ujian ulangan. Cara itu bisa mengurangi jumlah peserta ujian yang gagal pada ujian pertama. Ada sekolah yang kelulusan siswanya hanya 75 persen di ujian pertama, setelah ujian ulangan menjadi lulus 100 persen.

Tahun-tahun sebelumnya, kita tidak mengenal ujian ulangan, namun ada alternatif lewat jalur Paket A, B, dan C. Artinya, jika siswa tidak lulus UN masih bisa menunggu ujian paket dan lulusannya dianggap setara dengan lulusan UN. Mereka bisa melanjut ke jenjang pendidikan berikutnya jika berhasil di ujian paket. Hanya saja, alternatif ini selalu menyisakan persoalan lain yakni masalah keterlambatan (waktu).

Jalur paket dihilangkan, tapi ujian ulangan dibuat sebagai penggantinya. Pendeknya, selalu saja kebijakan diciptakan dan itu bisa "menyelesaikan" masalah yang ada. Ada kesan aneka kebijakan terus dilakukan untuk mengatasi berbagai kritik terhadap UN. Yang penting UN terus jalan.

UN 2011

Tahun ini tidak ada lagi ujian ulangan. Hanya saja ada pengganti, nilai dari ujian sekolah (US) kini disertakan. Nilai sekolah diperoleh dari gabungan antara nilai ujian sekolah dan nilai rata-rata rapor semester 1,2,3,4, dan 5 (SMP/MTs), atau nilai rata-rata rapor semester 3,4, dan 5 (SMA, MA/SMK). Bobotnya, 60 persen nilai ujian dan 40 persen nilai rata-rata rapor.

Kelulusan peserta didik dalam UN ditentukan berdasarkan nilai akhir (NA). NA yang dimaksud diperoleh dari gabungan antara nilai US dan nilai UN. Bobotnya 40 persen dari untuk nilai sekolah dan 60 persen untuk nilai UN. Selanjutnya, peserta didik dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata dari semua NA mencapai paling rendah 5,5 dan setiap mata pelajaran yang diujiankan paling rendah 4,0.

Kebijakan baru yang terasa menjadi lunak. Kebijakan yang bisa Anda temukan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 45 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Dididik. Dikatakan lunak karena kontribusi nilai sekolah kembali disertakan. Bukankah ingatan kolektif kita segera tertuju pada era Ebtanas yang dulu. Sekolah ramai-ramai mendongkrak nilai hingga semarak lulus 100 persen mewarnai pemberitaan media massa saat itu.

Agaknya, inilah yang dilakukan pemerintah agar tidak terus dituding mengabaikan peran pendidik dan sekolah dalam menentukan kelulusan peserta didik.

Inilah yang saya maksud dengan penilaian yang mengakomodasi pendidik dan satuan pendidikan. UN yang lebih akomodatif.***


Sumber : Supri Harahap
Kepala SMP Negeri 14 Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tambah sahabat dengan komentar, No Spam