Rabu, 12 April 2017

Dahaga Cinta Sang Bidak



DAHAGA CINTA SANG BIDAK
Oleh : Fuadi


Tak mengenal musim bidak-bidak bergerak dinamis, menembus gerimis, melewati dua pancaroba sampai waktu tak tentu. Menepis-tepis hujan badai, mengarungi gelombang yang ditiupkan angin prahara, dihirupnya senyum kekasih ke lapang dadanya. Degup jantung diaturnnya teratur kala menikmati kopi pahit, manis, asam, kelat bahkan pahit menggigit dalam percaturan hitam-putih. Ia pahamkan cinta adalah jalan panjang kerelaan untuk menemukan titik akhir perubahan, maka ia taburkan pengorbanan di jalan-jalan juang.

Ia bukanlah pengandai yang meramu ribuan kata untuk merayu kekasih, lalu berlalu mengubur waktu. Ia bukan pecundang yang garang dibelakang kemudian mencari kambing hitam. Bukan, Ia bukan pengumbar janji untuk dipungkiri.   

Ia adalah pencinta sejati. Menyusuri lembah licin, terkadang tergelincir tegak kembali berlari. Terkadang terperosok ke dalam gua yang kelam dan gigil. Terus saja Ia berjalan lurus ke satu arah titik, menggapai cahaya.

Di sana Ia benamkan cinta. Cinta yang sangat dahaga. Ia lebur dalam manis-pahit dahaga cinta yang tak bisa diukur dengan isi dunia. Biarlah dunianya terbengkalai, ia akan tetap di sini. Di lingkaran cahaya dimana Ia yakini mati adalah awal kehidupan abadi.

Petang, 170317          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tambah sahabat dengan komentar, No Spam