Komandan Kodim 0505/Jakarta Timur Letnan Kolonel Iwan Setiawan meminta masyarakat untuk melapor jika menemukan lambang Palu-Arit (PKI).
"Kami imbau kepada masyarakat jika menemukan hal-hal yang berbau seperti itu segera melapor kepada polisi atau kepada kami (TNI), terutama kepada komando kewilayahan untuk kami tindaklanjuti," kata Iwan kepada wartawan di kantornya, Jalan DR Sumarno, Cakung, Jakarta Timur, Selasa (3/5/2016).
Baca : http://www.infoindonesia.info/2016/05/masyarakat-diimbau-melapor-ke-polisi.html
Jangan Lupakan Sejarah, Inilah Fakta Kebiadaban PKI yang Telah Membunuh Ribuan Muslim Indonesia
Islamedia – 67
tahun sejak peristiwa pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 dan kemudian berulang
kembali peristiwa pemberontakan pada G30SPKI Tahun 1965, namun ancaman
komunisme di Indonesia seakan sengaja dibiaskan. Bahkan beberapa pihak sempat
mewacanakan agar pemerintah Indonesia harus meminta maaf terhadap kader-kader
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Berikut
ini tulisan dari sejarawan bernama Agus Sunyoto yang mengungkapkan fakta
sejarah bagaimana kebiadaban PKI dalam upaya melakukan makar dan pemberontakan,
ribuan nyawa umat Islam Indonesia telah menjadi kurban, simbol-simbol Islam
telah dihancurkan.
Kebiadaban
PKI Madiun 1948 Terhadap Ulama NU
“Tanggal 18 September 1948 pagi sebelum
terbit fajar, sekitar 1500 orang pasukan FDR/PKI – 700 orang diantaranya dari
Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Pandjang Djoko Prijono – bergerak ke pusat Kota
Madiun. Kesatuan CPM, TNI, Polisi, aparat pemerintahan sipil terkejut ketika
diserang mendadak. Terjadi perlawanan singkat di markas TNI, kantor CPM, kantor
Polisi. Pasukan Pesindo bergerak cepat menguasai tempat-tempat strategis di
Madiun. Saat fajar terbit, Madiun sudah jatuh ke tangan FDR/PKI. Sekitar 350
orang ditahan.“
KEBERHASILAN
FDR/PKI menguasai Madiun disusul terjadinya aksi penjarahan, penangkapan
sewenang-wenang terhadap musuh PKI, menembak musuh PKI, kegemparan dan
kepanikan pun pecah di kalangan penduduk, diiringi tindakan-tindakan bersifat
fasisme yang berlangsung dengan mengerikan. Semua pimpinan Masyumi dan PNI
ditangkap atau dibunuh. Orang-orang berpakaian Warok Ponorogo dengan senjata
revolver dan kelewang menembak atau menyembelih orang-orang yang dianggap musuh
PKI. Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang jalan. Bendera merah putih dirobek
diganti bendera merah berlambang palu arit. Potret Soekarno diganti potret
Moeso. Seorang wartawan Sin Po yang berada di Madiun, menuliskan detik-detik
ketika PKI pamer kekejaman itu dalam reportase yang diberi judul: ‘Kekedjeman
kaoem Communist; Golongan Masjoemi menderita paling heibat; Bangsa Tionghoa
“ketjipratan” djoega.’
Pada
detik, menit dan jam yang hampir sama, di Kota Magetan sekitar 1.000 orang
pasukan FDR/PKI – 700 orang diantaranya dari Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor
Moersjid — bergerak cepat menyerbu Kabupaten, kantor Komando Distrik Militer
(Kodim), Kantor Onder Distrik Militer (Koramil), Kantor Resort Polisi, rumah
kepala pengadilan, dan kantor pemerintahan sipil di Magetan. Sama dengan
penyerangan mendadak di Madiun, setelah menguasai Kota Magetan dan menawan
Bupati, Patih, Sekretaris Kabupaten, Jaksa, Ketua Pengadilan, Kapolres,
komandan Kodim, dan aparat Kabupaten Magetan, terjadi aksi penangkapan terhadap
tokoh-tokoh Masyumi dan PNI di kampung-kampung, pesantren-pesantren, desa-desa,
pabrik gula, diikuti penjarahan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan. Wartawan
Gadis Rasid yang menyaksikan pembantaian massal di Gorang-gareng, Magetan,
menulis reportase tentang kebiadaban FDR/PKI tersebut. Pembunuhan, perampokan
dan penangkapan yang dilakukan FDR/PKI itu diberitakan surat kabar Merdeka 1
November 1948.
Meski
tidak sama dengan aksi serangan di Madiun dan Magetan yang sukses mengambil
alih pemerintahan, serangan mendadak yang sama pada pagi hari tanggal 18
September 1948 itu dilakukan oleh pasukan FDR/PKI di Trenggalek, Ponorogo,
Pacitan, Ngawi, Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang, Cepu. Sama dengan di
Madiun dan Magetan, aksi serangan FDR/PKI meninggalkan jejak pembantaian massal
terhadap musuh-musuh mereka. Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa
Tengah tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat
pemerintah, tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan
mereka yang dikenal karena kesalehannya kepada Islam: mereka itu ditembak,
dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang. Mesjid dan madrasah dibakar,
bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu madrasahnya
dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang
tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak
melawan. Setelah itu, rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak.
Tindakan
kejam FDR/PKI selama menjalankan aksi kudeta itu menyulut amarah Presiden
Soekarno yang mengecam tindakan tersebut dalam pidato yang berisi seruan bagi
“rakyat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri dengan memilih: ikut Muso
dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka-atau
ikut Soekarno-Hatta, yang Insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara
Republik Indonesia ke Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun
juga. Presiden Soekarno menyeru agar rakyat membantu alat pemerintah untuk
memberantas semua pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di
daerah. Madiun harus lekas di tangan kita kembali.”
Seruan
Presiden Soekarno disambut oleh Menteri Hamengkubuwono yang disusul sambutan
Menteri Soekiman dan Jenderal Soedirman yang membacakan surat keputusan
pengangkatan Mayor Jenderal Soengkono sebagai panglima militer Jawa Timur.
Tanggal 23 September 1948 Menteri Agama KH Masjkoer mengucapkan pidato radio
yang tegas menyebutkan bahwa tindakan merebut kekuasaan bertentangan dengan
agama dan sama seperti perbuatan permusuhan orang-orang yang pro Belanda.
Dengan janji-janji palsu rakyat dipengaruhi, dibujuk, dihasut, dipaksa dan
dijadikan tameng oleh PKI Moeso.
Pidato
Menteri Agama KH Masjkoer yang menyatakan bahwa rakyat dipengaruhi, dibujuk,
dihasut, dipaksa dan dijadikan tameng oleh PKI Moeso tidak mengada-ada. Itu
bukti sewaktu pidato Presiden Soekarno dicetak sebagai selebaran yang
disebarkan kepada penduduk melalui pesawat terbang. Seketika – usai membaca
selebaran berisi pidato Presiden Soekarno – penduduk yang dipersenjatai oleh
PKI beramai-ramai meletakkan senjata. Mereka duduk di trotoar jalan dalam
keadaan bingung. Mereka terkejut dan bingung sewaktu sadar bahwa gerakan yang
mereka lakukan itu ternyata ditujukan untuk melawan Presiden Soekarno. Mereka
pun mulai bertanya-tanya tentang siapa sejatinya Moeso yang mengaku pemimpin
rakyat itu.
Sejarah
mencatat, bahwa antara tanggal 18 – 21 September 1948 gerakan makar FDR/PKI
yang dilakukan dengan sangat cepat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai
pemberontakan. Sebab dalam tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah membunuh
pejabat-pejabat negara baik sipil maupun militer, tokoh masyarakat, tokoh
politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh agama. Dengan kekejaman khas kaum
komunis – seperti kelak dipraktekkan lagi di Kampuchea selama rezim Pol Pot
berkuasa — bagian terbesar dari mayat-mayat yang dibunuh dengan sangat kejam oleh
FDR/PKI itu dimasukkan ke dalam sumur-sumur “neraka” secara tumpuk-menumpuk dan
tumpang-tindih. Sebagian lagi di antara tawanan FDR/PKI ditembak di “Ladang
Pembantaian” di Pabrik Gula Gorang-gareng maupun di Alas Tuwa.
Setelah
gerakan makar FDR/PKI berhasil ditumpas oleh TNI yang dibantu masyarakat, awal
Januari tahun 1950 sumur-sumur “neraka” yang digunakan FDR/PKI mengubur
korban-korban kekejaman mereka dibongkar oleh pemerintah. Berpuluh-puluh ribu
masyarakat dari Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek berdatangan
menyaksikan pembongkaran sumur-sumur “neraka”. Mereka bukan sekedar melihat
peristiwa langka itu, kebanyakan mereka mencari anggota keluarganya yang
diculik PKI.
Diantara
sumur-sumur “neraka” yang dibongkar itu, informasinya diketahui justru berdasar
pengakuan orang-orang PKI sendiri. Dalam proses pembongkaran sumur-sumur
“neraka” itu terdapat tujuh lokasi ditambah dua lokasi pembantaian di Magetan,
yaitu: 1. sumur “neraka” Desa Dijenan, Kec.Ngadirejo, Kab.Magetan; 2. Sumur
“neraka” I Desa Soco, Kec.Bendo, Kab.Magetan; 3. Sumur “neraka” II Desa Soco,
Kec.Bendo, Kab,Magetan; 4. Sumur “neraka” Desa Cigrok, Kec.Kenongomulyo,
Kab.Magetan, 5. Sumur “neraka” Desa Pojok, Kec.Kawedanan, Kab.Magetan; 6. Sumur
“neraka” Desa Batokan, Kec.Banjarejo, Kab.Magetan; 7. Sumur “neraka” Desa
Bogem, Kec.Kawedanan, Kab.Magetan; dan dua lokasi killing fields yang digunakan
FDR/PKI membantai musuh-musuhnya, yaitu ruang kantor dan halaman Pabrik Gula
Gorang-gareng dan Alas Tuwa di dekat Desa Geni Langit di Magetan.
Fakta
kekejaman FDR/PKI dalam gerakan pemberontakan tahun 1948 disaksikan puluhan
ribu warga masyarakat yang menonton pembongkaran sumur-sumur “neraka” itu, yang
setelah diidentifikasi diperoleh sejumlah nama pejabat pemerintahan sipil
maupun TNI, ulama, tokoh Masjoemi, tokoh PNI, Polisi, Camat, Kepala Desa,
bahkan Guru. Berikut daftar sebagian nama-nama korban kekejaman FDR/PKI tahun
1948 yang diperoleh dari pembongkaran sumur “neraka” Soco I dan sumur “neraka”
Soco II, yang terletak di Desa Soco, Kec. Bendo, Kab.Magetan:
SUMUR
“NERAKA” SOCO I: 1. Soehoed, camat Magetan; 2. R. Moerti, Kepala Pengadilan
Magetan; 3. Mas Ngabehi Soedibyo, Bupati Magetan; 4. R. Soebianto; 5. R.
Soekardono, Patih Magetan; 6. Soebirin; 7. Imam Hadi; 8. R. Joedo Koesoemo; 9.
Soemardji; 10. Soetjipto; 11. Iskak; 12. Soelaiman; 13. Hadi Soewirjo; 14.
Soedjak; 15. Soetedjo; 16. Soekadi; 17. Imam Soedjono; 18. Pamoedji; 19. Soerat
Atim; 20. Hardjo Roedino; 21. Mahardjono; 22. Soerjawan; 23. Oemar Danoes; 24.
Mochammad Samsoeri; 25. Soemono; 26. Karyadi; 27. Soerdradjat; 28. Bambang
Joewono; 29. Soepaijo; 30. Marsaid; 31. Soebargi; 32. Soejadijo. 33. Ridwan;
34. Marto Ngoetomo; 35. Hadji Afandi; 36. Hadji Soewignjo; 37. Hadji Doelah;
38. Amat Is; 39. Hadji Soewignyo; 40. Sakidi; 41. Nyonya Sakidi; 42. Sarman;
43. Soemokidjan; 44. Irawan; 45. Soemarno; 46. Marni; 47. Kaslan; 48.
Soetokarijo; 49. Kasan Redjo; 50. Soeparno; 51. Soekar; 52. Samidi; 53.
Soebandi; 54. Raden Noto Amidjojo; 55. Soekoen; 56. Pangat B; 57. Soeparno; 58.
Soetojo; 59. Sarman; 60. Moekiman; 61. Soekiman; 62. Pangat/Hardjo; 63. Sarkoen
B; 64. Sarkoen A; 65. Kasan Diwirjo; 66. Moeanan; 67. Haroen; 68. Ismail. ada
sekitar 40 mayat tidak dikenali karena bukan warga Magetan.
SUMUR
“NERAKA” SOCO II: 1. R. Ismaiadi, Kepala Resort Polisi Magetan; 2. R.Doerjat,
Inspektur Polisi Magetan; 3. Kasianto, anggota Polri; 4. Soebianto, anggota
Polri; 5. Kholis, anggota Polri; 6. Soekir, anggota Polri; 7. Bamudji, Pembantu
Sekretaris BTT; 8. Oemar Damos, Kepala Jawatan Penerangan Magetan; 9. Rofingi
Tjiptomartono, Wedana Magetan; 10. Bani, APP. Upas; 11. Soemingan, APP.Upas;
12. Baidowi; 13. Naib Bendo; 14. Reso Siswojo; 15. Kusnandar, Guru; 16.
Soejoedono, Adm PG Rejosari; 17. Kjai Imam Mursjid Muttaqin, Mursyid Tarikat
Syattariyah Pesantren Takeran; 18. Kjai Zoebair; 19. Kjai Malik; 20. Kjai
Noeroen; 21. Kjai Moch. Noor.”
Tindak
kebiadaban FDR/PKI selama melakukan aksi makarnya tahun 1948 yang disaksikan
puluhan ribu penduduk laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak yang menonton
pengangkatan jenazah para korban dari sumur-sumur “neraka” yang tersebar di
Magetan dan Madiun, adalah rekaman peristiwa yang tidak akan terlupakan.
Peristiwa pembongkaran sumur-sumur “neraka” itu telah memunculkan asumsi abadi
dalam ingatan bawah sadar masyarakat bahwa PKI memiliki hubungan erat dengan
pembunuhan manusia yang dimasukkan ke dalam sumur “neraka”. Itu sebabnya,
ketika tanggal 1 Oktober 1965 tersiar kabar para jenderal TNI AD diculik PKI
dan kemudian ditemukan sudah menjadi mayat di dalam sumur “neraka” Lubang Buaya
di dekat Halim, amarah masyarakat seketika meledak terhadap PKI, termasuk di
lingkungan aktivis Gerakan Pemuda Ansor yang sejak 1964 membentuk Barisan Ansor
Serbaguna (Banser) di berbagai daerah yang dilatih kemiliteran karena memenuhi
keinginan Presiden Soekarno membentuk kekuatan sukarelawan untuk mengganyang
Malaysia, di mana anggota Banser yang emosinya tak terkendali – terutama
setelah tewasnya 155 orang anggota Ansor Banyuwangi yang dibunuh PKI –
dimanfaatkan oleh pihak militer untuk bersama-sama menumpas kekuatan PKI yang
telah membunuh para jenderal mereka.
Artikel
ini ditulis oleh Agus
Sunyoto.
Pertama
kali dimuat di buletin Risalah edisi 36 tahun IV 1433 H/ 2012 hal 24-29,
dipublikasikan ulang oleh blog remental.blogspot.co.id
Penulis
adalah peneliti sejarah peristiwa Madiun 1948 yang diterbitkan dalam buku
berjudul “LUBANG-LUBANG PEMBANTAIAN: GERAKAN MAKAR FDR/PKI 1948 DI MADIUN”
(1990).
Penulis
peneliti konflik Banser-PKI 1965 di Jawa Tengah yang diterbitkan dalam buku
berjudul “BANSER BERJIHAD MENUMPAS PKI” (1995).
Penulis
peneliti operasi Trisula 1966-1968 di Blitar yang dimuat bersambung di harian
Jawa Pos September-Oktober 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tambah sahabat dengan komentar, No Spam