Selamat berjumpa lagi sob. Semoga hari-hari sobat sekalian bahagia dan selalu dalam lindungan-Nya. Pada postingan kali ini saya ingin berbagai pengalaman yang saya alami selama bulan Ramadhan 1433 H kemarin.
Ramadhan adalah bulan penuh hikmah. Bulan yang didalamnya terdapat bulan yang lebih baik dari 1000 bulan (Lailatul Qadr). Semua orang ingin berjumpa dengan malam lalilatul qadr. Saya tidak membicarakan masalah malam Lailatul Qadr, tapi saya ingin mencatat kejadian-kejadian yang saya alami, lihat dan dengar selama bulan Ramadhan 1433 H, kemudian saya tulis berupa puisi. Ini sebenarnya adalah kegiatan kami selama bulan Ramadhan di Kampung WR (Writing Revolution), yaitu acara ngabuburit menjelang berbuka.
Selamat membaca!
Jangan melihat siapa yang menulis, tapi lihat hasil tulisannya.
Ambil manfaatnya, buang yang tidak berguna
2 Ramadhan (Puisi 1)
Marhaban ya Ramadhan
Gemerincing tasbihmu telah mendayu
Memanggil jiwa yang repih layu
Bersaranglah engkau padaku
Sebelas bulan aku menunggu
Siramilah kalbuku dengan embun rahmatmu
Marbahan ya Ramadhan
Bersamamu aku ingin berkelindan
*3 Ramadhan (Puisi 2)
Alhamdulillah Ramadhan berkah
Rasa haus sirna sudah
Tenggorokan jadi basah
Pandangan mata kembali indah
Saat berbuka waktu dinanti raga berseri
Akanan ruah mengharap pahala illahi rabbi
*4 Ramadhan (Puisi 3)
Hari ini panas mengelillingi raga
Tak terasa 4 hari puasa
Seonggok letih mulai terasa
Cepat waktu berlalu
Pun ibadah ini mengharap ridha-Mu
*5 Ramadhan (Puisi 4)
Membiarkan dahaga ini pertanda
Melingkarlah letih disetiap sendi raga
Petang kan menjelang pulang
Zikirmu memanggil lantang
Ini baru permulaan sayang
Ingatlah kita sedang memerangi diri
Untuk menjadi muslim sejati
* 10 Ramadhan (Puisi 5)
Saat sirine bersahutan
Ku teguk dua gelas air putih atas sahur yang tidur
Alhamdulillah aku duduk
Tetaplah tawadu'
* 11 Ramadhan (Puisi 6)
Astaghfirullah ya Allah
Ada setitik noda atas puasaku hari ini
Noktah disebabkan mata tak terpelihara
Ramadhan-Mu tercela
Maafkan hamba Illahi Rabbi
* 13 Ramadhan (Puisi 7)
tak banyak yang bisa kuceritakan kini
perih melilit,
lapar menggelar panas
aku terbakar
aku terbakar
ya Rabb!
muliakanlah aku dengan sikap sabar
* 14 Ramadhan (Puisi 8)
(Kecelakaan di Jl. H. Raya)
(Kecelakaan di Jl. H. Raya)
Darah itu mengalir dari kepalanya
tak hirau akan sekitar carut marut membahana
dia berceloteh tentang sakitnya
kepada siapa?
orang-orang ada yang singgah; sekedar melihat
yang sinis berlalu tanpa beban; biasa kecelakaan!
kerumunan itu perlahan bubar
dua orang pemuda datang menggotong perempuan yang terluka
sebuah oplet tua membawanya
siapa yang menabraknya?
aku hilang ditengah carut marut panas memanggang
bertanyapun suaraku hilang
* 17 Ramadhan (Puisi 9)
Ya Rabb.... Ampuni hamba-Mu
yang lalai di amuk amarah
hamba berusaha istiqamah
mesti di puncak jengah
*18 Ramadhan (Puisi 10)
Senja dalam kerinduan menyanyikan suara hati
temaram di kala letih menyapa
sebentar lagi azan maghrib mendera perbukaan
aku masih saja bersetubuh dengan waktu
membawanya ke alam mimpi menggebu
letih, kuyu, berbalut sendu
ku hamparkan dalam tasbih kelu
seketika aku menyebut asma-Mu
senja makin memerah
gerombolan gembala menggiring ternaknya pulang
sekawanan itik berceloteh tentang perutnya yang sudah kenyang
ku reguk secangkir teh membalut kerongkongan kerontang
alhamulillah usai sudah kisah ku hari ini
mengucap syukur pada illahi
senja menggiring pulang
ku kayuh langkah meninggalkan hari
untuk esok bersua lagi dengan ramadhan yang penuh berkah ini
* 19 Ramadhan (Puisi 11)
(Jakarta Terbakar)
(Jakarta Terbakar)
Gulita malam sontak memerah saga
Asap membubung ke angkasa dengan congkaknya
Api lahap merayap tiap jengkal tiang-tiang penyangga
Rumah-rumah rubuh tiarap ke bumi
Tinggalkan bara arang sisa-sisa rerentuhan
Tangis para bocah pecah kabarkan berita duka
Tidak ada yang menyangka
Bencana datang melanda
Baru saja kemarin bermimpi menyambut hari nan fitri
Kini di bawah tenda-tenda plastik mengais harap
Menanti uluran tangan sang dermawan
Sekedar makan penyambung puasa ramadhan
Ya Rabb
Kuatkan iman kami dengan ujian ini
* 21 Ramadhan (Puisi 11)
hakikat pedagang mencari jati diri
mengarungi bahtera menjalin petualang
menyinggahi lapak-lapak tak bertuan
menyemai angkuh bertitah bak tuan raja
Di belokan terakhir katup-katup langit telah membuka
memuarakan tasbih, tahlil, dan tahmid kepada sang pencipta
lalu dimana zikir pedagang tersangkut?
akankah jadi mantra tak berkesudahan, mengambang
sementara hati terus diburu nafsu dunia
atau hanya jadi ocehan pelepas dahaga tak bermakna
dan hilang di telan kepulan asap rokok tak membekas
menghisap angin?
ooo alangkah rugi sang pedagang
barang habis terjual rugi yang datang
begitu nian sorak tercekat
di dermaga penantian panjang menjulang
jejak yang tinggal tergerus ombak tadi siang
katup-katup langit kian menganga
menanti tangan-tangan ikhlas pendo'a menggapainya
memeluknya di pelataran surga
berkelindan di malam-malam akhir ramadhan
menuruni lembah-lembah hati yang beriman
sang pedagang tersungkur di ufuk pagi
ditubir jurang mengharap ridha illahi
* 25 Ramadhan (Puisi 12)
hati yang tinggal sekeping luka yang lainnya tertatih menyingkap
tabir gerimis zikirku tak jua bisa menautkannya
saling berebut singgasana
kejap kemarin kulihat pelangi senja mulai merapat di sela koyak
bisa kuraba sebentar hening itu
merinai seketika khusyukku dalam doa
di bilik-bilik sunyi malam rapalan tasbihku menggetarkan jiwa
tangisku pecah mengenang dosa
ketika siang meludahi malam
kepingan luka itu kembali menggurat dunia fana
ya rabbi aku bersimpuh dihadapan-Mu
menangkupkan tangan di altar asry-Mu
mengadukan hati yang repih
yang terpanggang oleh kemunafikan zaman
* 26 Ramadhan (Puisi 13)
sebentar lagi kita akan tiba di penghujung waktu
benarkah?
bukankah masih panjang perjalanan
benar!
aku, kau dan kalian pernah dalam satu perkemahan
yang didalamnya di suguhi makanan enak, tidur nyenyak, tempat bermain yang mengasikan kalbu
seharusnya kita melenggang untuk jalan-jalan berikutnya
menepis setiap jengkal kutu-kutu yang menghalangi penghambaan diri
mengapa?
coba kau ingat apa saja yang engkau bawa setelah perkemahan usai
penuhkah dadamu dengan zikir sebagai benteng di luar sana
atau hanya jadi pepesan kosong setelah berbaur dengan liuk-liuk genit kehidupan dan kembali terperosok
sudah sampai dimana kita?
di awal yang menggebu-gebu
semakin ketengah semakin membenam larutkan Asmaul Husna
atau malah takut ketengah yang pada akhirnya kembali ke awal malu-malu
* 27 Ramadhan (Puisi 14)
Kereta itu akan segera pergi.
diikuti gerbong, berpenumpang mungkin juga kosong gosong.
bukan tergesa-gesa tapi sudah sepatutnya.
lengking besinya mulai berbisik mengukur jarak
meninggalkan bangku-bangku tua, sebuah bangunan
Engkau bertanya padaku.
kemana kita akan dibawanya?
di tanganmu terselip tiket entah apa
akupun berkata, "sudah tahun keberapa?"
yang aku ingat;
bangku-bangku itu masih baru berwarna suci
besi penyangganya kokoh
tidak seperti sekarang warna tidak jelas, berkarat sekarat
jawabmu!
kita pun saling diam
memandang ke langit, mata menyipit
kereta itu terus berputar mengitar
sebentar ke Sidratul Muntaha untuk kembali
aku, kau masih di sini
memegang tiket
duduk bungkuk di bangku-bangku tua, sebuah bangunan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tambah sahabat dengan komentar, No Spam