Kamis, 22 Desember 2011

Mahkamah Agung


MAHKAMAH AGUNG

                                      




Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula dimuat dalam penjelasan, yang berbunyi : “Negara berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).” Disamping itu ada prinsip yang erat dengan prinsip Negara hukum yang juga dimuat dalam penjelasan: “Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas). Dengan ketentuan baru ini, maka dasar sebagai negara berdasarkan atas hukum mempunyai sifat normatif, bukan sekadar asas belaka. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip Negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Menurut Moh. Mahfud MD , penghilangan istilah rechtsstaat dari UUD tersebut bukanlah masalah semantik atau gramatik semata melainkan juga menyangkut masalah yang substantif dan paradigmatik. Istilah rechtsstaat lebih menekankan pada pentingnya “hukum tertulis (civil law)” dan kepastian hukum. Kebenaran dan keadilan hukum di dalam rechtsstaat lebih berpijak atau menggunakan ukuran formal; artinya yang benar dan adil itu adalah apa yang ditulis di dalam hukum tertulis. Di dalam rechtsstaat hakim merupakan corong undang-undang. Sedangkan the rule of law lebih menekankan pada pentingnya “hukum tak tertulis” (common law) demi tegaknya keadilan substansial. Kebenaran dan keadilan hukum lebih berpijak atau menekankan tegaknya substansi keadilan daripada kebenaran formal-prosedural semata; artinya yang benar dan adil itu belum tentu tercermin di dalam sanubari dan hidup di dalam masyarakat; dan karenanya hukum tertulis (UU) dapat disimpangi oleh hakim jika UU itu dirasa tidak adil. Karena membuat putusan hakim tidak harus tunduk pada bunyi hukum tertulis melainkan dapat membuat putusan sendiri dengan menggali rasa dan nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat.

Lebih lanjut Mahfud menyatakan, sejak perubahan tahap ketiga UUD 1945, konstitusi kita sudah mengarahkan agar penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi rechtsstaat dan the rule of law sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan menegakkan keadilan substansial.

Penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, serta pernyataan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, mengandung spirit untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan, menegakkan prinsip persamaan di depan hukum dan melindungi campur tangan baik yang bersifat internal maupun eksternal terhadap kekuasaan kehakiman dalam rangka mencegah dan menghindari kegagalan pencapaian keadilan.

Kekuasaan kehakiman yang mandiri diangkat dari penjelasan menjadi materi Batang Tubuh UUD 1945. Hal ini akan lebih menguatkan konsep negara hukum Indonesia. Hans Kelsen, misalnya, dalam kaitan negara hukum yang juga merupakan negara demokratis, mengargumentasikan empat syarat rechtsstaat, yaitu : (1) negara yang kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan undang-undang, yang proses pembuatannya adilakukan oleh parlemen. Anggota-anggota parlemen itu sendiri dipilih langsung oleh rakyat; (2) negara yang menganut mekanisme pertanggungjawaban atas setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh elit negara; (3) negara dan (4) negara yang melindungi hak-hak asasi manusia. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil amandemen UUD 1945 lebih memberikan dasar konstitusional bagi lahir dan tumbuhnya negara hukum.

Jaminan konstitusi yang lebih baik atas negara hukum adalah buah reformasi konstitusi di era transisi dari pemerintahan otoriter di zaman Soeharto. Masa transisi memang bermuka dua. Di satu sisi, keserbatidakpastian dan keserbamungkinan pasti mengiringi masa transisi. Hasil proses transisi belum tentu negara yang demokratis, tetapi tidak jarang reinkarnasi negara otoriter dalam bentuk yang baru. Di sisi lain, era transisi adalah suatu golden moment untuk melakukan reformasi konstitusi.

Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tetang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan telah dicabut dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Melalui perubahan tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi administrasi, dan financial berada di bawah satu atap di bawah kekusaan Mahkamah Agung. Hal ini dianggap penting dalam rangka perwujudan kekuasaan kehakiman yang menjamin tegaknya negara hukum yang didukung oleh system kekuasaan kehakiman yang ‘independen’ dan ‘impartial’.

Cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu kesatuan system yang berpucuk pada Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan, fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif dikembangkan sebagai cabang-cabang kekuasaan yang terpisah satu sama lain. Jika kekuasaan legislatif berpuncak pada Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri atas dua kamar, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perawakilan Daerah (DPD), cabang kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juga dapat dipahami mempunyai dua pintu, yaitu Mahkamah Agung dan pintu Mahkamah Konstitusi.

Sekarang setelah lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat sendiri mengalami reformasi struktural dengan diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip hubungan check and balance antara lembaga-lembaga negara, maka dapat dikatakan struktur ketatanegaraan kita berpuncak kepada tiga cabang kekuasaan, yang saling mengontrol dan saling mengimbanggi secara sederajat satu sama lain, yaitu (i) Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu institusi kepemimpinan, (ii) MPR yang terdiri atas DPR dan DPD, dan (iii) kekuasaan yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Ketiga-tiganya tunduk di bawah pengaturan konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dengan segala perubahannya. Dengan demikian, lembaga MPR merupakan puncak dari sistem kedaulatan rakyat, sedangkan MA dan MK dapat dilihat sebagai puncak pencerminan sistem kedaulatan hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, sangat boleh jadi bahwa MA dan MK itu secara bersama-sama dapat pula disebut sebagai Mahkamah Kehakiman.

Sebenarnya, ajaran kedaulatan rayat yang mencerminkan prinsip demokrasi (Demos Cratos atau Cratein) dalam perkembangan sejarah permikiran hukum dan politik memang sering dipertentangkan dengan ajaran kedaulatan hukum berkaitan dengan prinsip nomokrasi (Nomos Cratos atau Cratein). Ajaran atau teori kedaulatan hukum itu sendiri dalam istilah yang lebih popular dihubungkan dengan doktrin the rule of law dan prinsip Rechsstaat (Negara Hukum). Perdebatan teoritis dan filosofis mengenai mana yang lebih utama dari kedua prinsip ajaran kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat ini dalam sejarah terus berlangsung sejak zaman Yunani kuno. Di zaman modern sekarang ini, orang berusaha untuk merumuskan jalan tengahnya juga terus terjadi. Misalnya, dikatakan bahwa kedua prinsip itu tidak ubahnya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya menyatu dalam konsepsi negara hukum yang domokratis ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum.

Namun dalam praktiknya tidaklah mudah untuk mengkompromikan prinsip kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum itu dalam skema kelembagaan yang benar-benar seimbang. Dalam sistem UUD 1945 selama ini, lembaga tertinggi negara justru diwujudkan dalam lembaga MPR yang lebih berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Akan tetapi, setelah dilakukan perubahan terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar berkenaan dengan hal itu maka lembaga kekuasaan kehakiman yang mencakup dua mahkamah itu juga harus ditempatkan dalam kedudukan yang sederajat dengan MPR yang terdiri atas DPR dan DPD. Sekarang, kedua ajaran kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum itu dikembangkan secara bersamaan dan berada dalam hubungan yang sederajat, sebagai perwujudan keyakinan kolektif bangsa Indonesia akan kedaulatan Tuhan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Sumber :
Hukum Tata Negara Indonesia
Karangan : Dr. Ni’Matul Huda, SH., M.Hum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tambah sahabat dengan komentar, No Spam